Rekomendasi Gubernur Ali Mazi Memaksimalkan Nikel di Sultra

Author: admin | 12 Aug 2023
Share:

News Image

Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi, S.H., saat menyampaikan materi industri hilir nikel di Sultra di acara 2023 Indonesia-International Nickel and Cobalt Industry Chain Summit di Shangri-La Jakarta (Foto: MNI)

 

2 Juni 2023

 

NIKEL.CO.ID, 2 Juni 2023-Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi, S.H., mengutarakan, nilai ekspor produk hilirisasi nikel ternyata belum berdampak banyak pada perekonomian Sultra. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Sultra masih di bawah daerah penghasil nikel lainnya, seperti Sulawesi Tengah  dan Maluku Utara. Pemprov Sultra pun memberikan rekomendasi pemaksimalan nikel di Sultra.

Pembicara dari unsur pemerintah pusat sudah memaparkan materi di 2023 Indonesia-International Nickel and Cobalt Industry Chain Summit di hari pertama yang diselenggarakan Shanghai Metals Market (SMM) bekerja sama Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) di Hotel Shangri-La, Rabu (30/5/2023).

Seusai break Isoma, giliran Gubernur Sulawesi Tenggara, H. Ali Mazi, S.H., menyampaikan materi bertema: “Nickel Production in Southeast Sulawesi: Investment Prospect for Local and Foreign Investors”.

Di awal pemaparan materi, Gubernur Ali Mazi menyampaikan bahwa Indonesia adalah produsen  bijih nikel terbesar di dunia pada 2019. Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina yang memproduksi 420 ribu ton, Rusia 270 ton, dan Kaledonia Baru 220 ribu ton. 

Berdasarkan pemetaan Badan Geologi Kementerian ESDM pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terkira 986 juta ton).

“Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua Barat adalah provinsi dengan potensi nikel terbesar di Indonesia sampai dengan saat ini,” kata Ali Mazi dari podium.

Sumber daya hipotetik bahan galian nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara, disebutkan Ali Mazi totalnya 97.401.593.026 wet metric ton (wmt), tersebar di Baubau dan Buton sebanyak 1.676.332.000 wmt, Bombana 28.200.014.800 wmt,  Konawe 1.585.927.189 wmt, Konawe Utara 46.007.440.653, Konawe Selatan 4.348.838.160 wmt, Kolaka 12.819.244.028 wmt, dan Kolaka Utara 2.763.796.196 wmt.

Pemprov Sultra menargetkan PNBP dari sektor pertambangan pada 2017 sebesar Rp 222.208.502.958, dan  terealisasi Rp 256.996.000.565 (capaian 116% per  tahun). Tahun 2022, target PNBP sebesar Rp 1.200.374.661.000, terealisasi Rp 4.407.193.152.551 (capaian 367% realisasi triwulan IV).

Ali Mazi mengutarakan, obsesi Indonesia menjadi bagian utama dari jaringan rantai pasok ekosistem kendaraan listrik global menjadi isu utama hilirisisasi nikel di Sultra. Isu utama lainnya adalah strategi untuk meningkatkan  nilai tambah komoditas nikel  dengan tujuan agar komoditas yang diekspor tidak lagi berwujud bahan baku mentah (bijih nikel), tetapi sudah menjadi barang setengah jadi.

“Hilirisasi erat kaitannya dengan konsep nilai tambah dan daya saing produk. Semakin hilir sebuah produk yang dihasilkan dari kegiatan industri, makin tinggi nilai atau harganya. Dalam tatanan ekonomi makro, semakin terhilirkan kegiatan sebuah produksi, akan memberikan kontribusi lebih besar terhadap total pendapatan domestik bruto sebuah negara,” terang Ali Mazi.

Obesesi Indonesia ini, menurutnya, tentu ada konsekuensinya, yakni pembangunan industri pengolahan dan pemurnian nikel serta pengaturan dan pengendalian ekspor bijih nikel.

Ia mengutarakan, beberapa jenis produk olahan nikel di indonesia, yaitu nickel pig iron (NPI), ferronickel (FeNi), nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), mixed sulphide precipitate (MSP), dan baja tahan karat (stainless steel).

Gubernur berperawakan gemuk ini menjelaskan, NPI adalah produk olahan nikel secara pirometalurgi (smelter) dengan kandungan unsur nikel di bawah 14%. NPI didominasi unsur besi dan beberapa unsur lain yang secara komersial tidak dihargai. NPI menempati porsi terbesar (lebih dari 75%) produk nikel olahan di indonesia, yang sebagian diolah lanjut menjadi baja tahan karat.

Produk FeNi merupakan produk smelter dengan kandungan nikel rerata 20%. Sedangkan nickel matte merupakan FeNi yang dikonversi menjadi matte (nikel sulfida), sehingga kandungan nikelnya naik hingga 75-80%. Nickel matte merupakan bahan dasar industri lanjutan berbasis nikel, seperti nikel sulfat dan nikel murni.

Lanjut MHP dan MSP, jelas Ali Mazi, adalah produk olahan nikel berbasis hidrometalurgi (leaching plant) dengan kandungan nikel 30-45%. Sementara baja tahan karat merupakan produk olahan lanjut dari NPI atau FeNi, dengan kandungan nikel berkisar 8-12%.

Kebijakan Hilirisasi Nikel

Gubernur Ali Mazi dalam slide pemaparan materinya menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor bijih mineral nikel sejak Januari 2020 dan fokus pada hilirisasi. Kebijakan hilirisasi berdampak positif terhadap nilai ekspor turunan nikel selama tiga tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor bijih nikel pada 2010-2019 atau 10 tahun, rata-rata mencapai US$ 710,095 juta dengan volume menembus 23,28 juta ton.

Sementara itu, ekspor ferronickel mencapai US$ 789,43 juta dengan volume mencapai 485.521 ton. Ekspor nikel dan produk jadi dari nikel mencapai US$ 928,57 juta dengan volume 97 ribu ton. Hanya dengan kurun waktu tiga tahun (2020-2022), rata-rata nilai ekspor ferronickel mampu dilipatgandakan menjadi US$ 8,48 miliar, sementara nilai nikel dan produk olahannya melonjak US$ 2,69 miliar

Dari sisi berat, rata-rata volume ekspor ferronickel melonjak menjadi 4,05 juta ton, sementara nikel dan produk olahannya mencapai 346 ribu ton.

“Smelter nikel yang produksi di Sulawesi Tenggara ada dari PT Antam Tbk di Pomalaa, Kabupaten Kolaka dengan kapasitas produksi FeNi 27.000 mt per tahun, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Morosi, Kabupaten Konawe kapasitas produksi NPI 1.000.000 mt per tahun, PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Morosi, Kabupaten Konawe dengan kapasitas produksi NPI 2.300.000-3.000.000 mt per tahun. Kapasitas produksi ini berdasarkan laporan perusahaan tahun 2022,” tuturnya.

Kontribusi hilirisasi nikel terhadap devisa ekspor Sultra, berdasarkan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC)  Kendari per Agustus 2022, dari PT Obsidian Stainless Steel sebesar US$ 3.272.308.407 dengan volume ekspor 2.040.389.400 kg, PT Virtue Dragon Nickel Industry US$ 1.392.324.370 dengan volume ekspor 469.958.641 kg, dan PT Antam Tbk devisanya sebesar US$ 36.047.478 dengan volume ekspor 9.312.183 kg.

KPPBC juga mencatat lima perusahaan besar di Sultra yang mendominasi devisa ekspor, yakni OSS, VDNI, Antam, Graha Makmur Cipta Pratama (makanan laut), dan Wijaya Karya Aspal.

“OSS dan VDNI masih menjadi perusahaan yang dominan berkontribusi terhadap devisa negara dengan volume ekspor tertinggi,” bilang Ali Mazi.

Secara umum, lanjutnya, nilai ekspor Sultra mulai Januari hingga 31 Agustus 2022 mengalami pertumbuhan positif dari target yang ditentukan, salah satunya disebabkan kegiatan ekspor Sultra itu sudah dapat dilakukan dari Pelabuhan Kendari langsung dengan beberapa negara tujuan.

“Capaian ekspor dan impor pada Agustus 2022 mengalami peningkatan 35% dan untuk ekspor masih didominasi dari sektor pertambangan,” ujarnya.

 

Peluang dan Tantangan

Gubernur Ali Mazi melanjutkan penyampaian materi mengenai peluang dan tantangan pengusahaan dan pengolahan bijih nikel di Sultra. Dia mengungkap, sebagai provinsi dengan sumberdaya dan cadangan terbesar di Indonesia, tentu menjadi peluang bagi Provinsi Sulawesi Tenggara untuk lebih mendapatkan banyak manfaat dari kegiatan hilirisasi nikel di wilayahnya.

Ia mencontohkan, terjadi peningkatan PDRB, peningkatan dana bagi hasil PNBP SDA pertambangan, peningkatan penerimaan dan retribusi daerah, penyerapan tenaga kerja, dan lain sebagainya.

Pada periode Januari hingga Oktober 2022, total ekspor Sultra mencapai US$ 4,8 miliar dengan total volume ekspor mencapai 2,2 juta ton (BPS Sultra). Nilai dan volume ini meningkat masing-masing 36% dan 24% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari total ekspor ini, sebanyak 99,53% atau US$ 4,7 miliar berasal dari golongan besi dan baja, setara Rp 71 triliun (kurs Rp 15.000), berupa ferronickel,  NPI, dan baja tahan karat yang diproduksi oleh sejumlah pabrik peleburan (smelter) nikel di Sultra. Ekspor lain dengan jumlah di bawah 1% adalah ikan dan udang serta olahan daging dan ikan.

Menyoal tantangan, disebutkan Ali Mazi, pertama, muncul sentimen dan situasi geopolitik dunia, kebijakan perdagangan internasional masing-masing negara penghasil, negara-negara importir nikel maupun negara-negara pengguna atau calon pengguna kendaraan listrik.

Kedua, nilai ekspor yang tinggi sebagai dampak hilirisasi nikel ternyata belum berdampak banyak pada perekonomian daerah. Terlihat dari pertumbuhan ekonomi Sultra yang berada di kisaran 5-6%, sedangkan daerah penghasil lain, seperti Sulawesi Tengah  dan Maluku Utara, jauh di atas angka tersebut. Pertumbuhan ekonomi Sulteng berada di angka 11%, sementara Malut bahkan di angka 24% sepanjang 2022.

Ketiga, selain dana bagi hasil PNBP SDA pertambangan dan penerimaan pajak juga tidak tinggi akibat belum optimalnya penerimaan pajak di kawasan pertambangan. Akibatnya, nilai tambah sektor pertambangan tidak begitu terasa meski ekspor terus melejit. Hal ini dapat terjadi pada hilirisasi tahap awal dan dapat menjadi stagnan apabila hilirisasi tidak ditingkatkan ke tahap selanjutnya. 

Keempat, lanjutnya, upaya peningkatan sektor di luar pertambangan, karena struktur yang timpang berbahaya bagi ekonomi daerah. Saat sektor pertambangan mandek, maka sektor-sektor lain yang bergantung akan ikut tertahan yang membuat masyarakat merasakan dampak buruknya. Padahal, sektor pertanian dan kelautan adalah dua sektor utama yang menopang perekonomian selama ini.

Melihat kondisi ini, Pemprov Sultra pun memberikan rekomendasi. Menurutnya, idealnya hilirisasi industri nikel di dalam negeri bisa dilakukan guna melengkapi pohon industri, bila perlu sampai produk akhir. Dalam kasus nikel, hilirisasi dimulai dari pengolahan dengan smelter atau leaching plant menghasilkan produk antara, lalu dimurnikan atau diolah lanjut menghasilkan produk setengah jadi. Selanjutnya diolah menjadi bahan baku produk akhir siap pakai.

“Kami juga merekomendasikan terciptanya integrasi dari hulu hingga hilir, seperti dilakukan di negara industri maju. Hilirisasi yang terintegrasi akan berdampak sangat signifikan terhadap penciptaan nilai tambah, peningkatan pendapatan domestik, pengembangan teknologi, rantai pasok yang berkeseinambungan, dan yang paling penting bisa meningkatkan harkat dan martabat bangsa,” paparnya.

Rekomendasi selanjutnya, hilirisasi dari hulu hingga hilir memerlukan sinergi dan kesepahaman dari seluruh pemangku kepentingan. Teknologi, kreasi, kewirausahaan, sekaligus investasi dari sisi investor, dipadu penataan regulasi dari pemerintah dan makin ideal jika melibatkan institusi perguruan tinggi dan lembaga penelitian

https://nikel.co.id/rekomendasi-gubernur-ali-mazi-memaksimalkan-nikel-di-sultra/